Selasa, 21 Oktober 2008

SEBUAH PERJALANAN I

Oleh : Ujang, S.ThI


Saat itu, tepatnya bulan Juli 1993, aku mulai tinggal di sebuah daerah yang sangat dingin yang juga dikenal dengan nama Kota Hujan. Ya, begitulah sebutan yang sering dikatakan orang tentang Padang Panjang Kota Serambi Mekah. Sebuah kota kecil yang kaya dengan Pesantren, terletak antara gunung Merapi dan Singgalang, serta bukit Tui.

Ketika itu, aku sekolah di sebuah pesantren yang telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar seperti Buya HAMKA, Abdul Hamid Hakim, dll. Apalagi, sekolah ini didirikan oleh Ayah dari Buya HAMKA sendiri yaitunya inyiak De er. Gelar yang sering dipakaikan terhadap DR. H. Abdul Karim Amrullah.

Kota ini terasa sangat sejuk, namun bila telah diselimuti kabut di sore hari, dinginnya luar biasa. Pemandangan di sini sangat indah sekali. Apalagi di sore harinya, aku sering duduk di gedung lantai bertingkat dua guna menyaksikan indahnya pemandangan gunung merapi dan singgalang dan bila dilihat ke belakang, terlihat Bukit Tui, yang beberapa tahun lalu mengalami longsor dan telah mendatangkan korban jiwa yang cukup banyak.

Sungguh, suatu pemandangan yang sangat berbeda dengan apa yang terlihat selama ini di desa. Alangkah Maha Kuasanya sang pencipta alam yang sangat sempurna ini. Sungguh, betapa besarnya dosa orang yang mendurhakai Allah sebagai Tuhannya. Padahal Allah selalu mencurahkan nikmat yang tiada putus-putusnya kepada mereka. Na’udzu billah.
Saat melamun sendirian, aku teringat kemaren masih berkejar-kejaran dengan teman-teman di desa, mandi bersama-sama di sungai, mengaji di surau, bahkan tidak jarang tidur di surau pada hari libur. Memang, kampung halaman merupakan tempat yang sangat berkesan di jiwa. Seindah apapun negeri orang, namun kampung halaman teringat juga.
Apalagi bila bus Bintang Kejora jurusan Padang-Payakumbuh lewat, rasanya ingin berpesan kepada para penumpangnya: “Tolong sampaikan salam rinduku ke kampung halaman”. Namun, apalah dikata, tiada guna berpesan pada mobil yang sedang berlari kencang. Sekeras apapun suara yang dikeluarkan, tidak akan didengarnya juga.

Walaupun begitu, setiap kali melihat mobil ke Payakumbuh lewat, rasanya rasa rindu itu bisa terobati. Meskipun terkadang hati terasa perih, mata terasa pedih, namun semangat menuntut ilmu tak akan mundur hanya oleh perasaan.
Usia 13 tahun memang masih berat berpisah dengan orang tua dan keluarga. Apalagi selama ini, aku masih berstatus anak tunggal di rumah. Karena memang, aku tidak punya kakak dan juga adik. Dulu, ketika kelas II SD, aku punya seorang adik. Namun, Allah berkehendak lain. Dia meninggal dunia ketika masih bayi. Wajar tentunya, jika aku sekarang jauh dari ayah dan ibu terasa sangat sedih dan rindu pada mereka. Apalagi selama ini, aku tak pernah jauh dari keluarga seperti sekarang. Walaupun kadangkala tidur di tempat Iniak (Nenek), namun masih dekat dengan rumah. Sehingga, yang terasa tidak seperti apa yang dirasakan sekarang.
Hari pertama belajar sangat mengesankan sekali. Mengapa tidak? Karena di awal pertemuan ini kita telah diperkenalkan dengan kosa kata dasar Bahasa Arab. Setiap siswa juga dibagikan 1 set kitab berbahasa Arab (kitab kuning) sebagai buku pegangan belajar. Dalam hati aku berkata : “Ternyata, sekolah di sini lebih menyenangkan dari pada di kampung.”


Aku ingat, beberapa minggu yang lalu, Kepala Sekolah SD di kampung bertanya kepada Ayah : “Anaknya nanti menyambung sekolah kemana?” Ayah menjawab “Pondok Pesantren Perguruan Thawalib Padang Panjang”. Mendengar jawaban itu terkesan nampak raut wajah kurang puas pada Bapak Kepala Sekolah saat itu, sehingga ia berkata : “Anak inikan punya kemampuan serta meraih lulusan terbaik, mengapa tidak dimasukkan ke SMP saja?” Begitulah pandangan banyak orang tentang sekolah di pesantren.

Cara berfikir begini, juga banyak dimiliki orang hari ini. Bagi mereka, urusan agama itu, cukup di surau saja. Kalau sudah bisa ngaji dan shalat itu sudah cukup. Jika sudah pandai baca do’a dan selalu pakai peci kemana-mana, itu sudah bisa dikatakan ulama. Walaupun, mereka itu tidak mengerti ajaran Islam sama sekali. Padahal, menjadi seorang ulama itu sangat berat. Kita harus menguasai bahasa Arab, memahami al-Qur’an dan hadis, serta mengetahui pendapat-pendapat ulama yang terpercaya dan dikenal keilmuannya.

Ternyata, apa yang dicemaskan kepala Sekolah Dasarku tersebut tidaklah terbukti. Nyatanya, sekolah di pesantren sangat menyenangkan. Banyak kegiatan-kegiatan yang sangat bermanfaat dalam pembentukan kepribadianku. Sebagai contoh, kami selalu diwajibkan melaksanakan shalat lima waktu berjamaah di Mesjid, setiap pagi belajar Bahasa Arab dengan ketua Kamar, jam 08.00-10.00 WIB kami diwajibkan menghafal buku pelajaran di kamar (sebab, kelas I waktu itu masuk sore), pada malam harinya 2 kali seminggu diadakan muhadharah (latihan pidato yang dilaksanakan dalam bentuk lomba), setiap malam kita wajib menghafal pelajaran sampai jam sepuluh malam. Padahal di kampung dulu malam harinya kadang cepat tidur atau asyik nonton TV di warung.
Santri yang melanggar peraturan asrama, diberi hukuman. Dua kali seminggu kami dipukul pakai anger dan rotan bila berbahasa daerah dan tidak ikut puasa senin kamis. Saat itu, terasa hukuman itu sangat menakutkan. Namun setelah lebih besar, baru kusadar ternyata semua itu sangat mendidik.

Selain acara seperti itu juga masih banyak acara lainnya, seperti gotong royong setiap hari Jum’at. Pagi Jum’atnya, kami selalu pergi meraton keliling kota Padang Panjang, kadangkala ketika meraton itu, kami berpapasan di jalan dengan santriwati Diniyyah puteri dan Thawalib Puteri, karena hampir semua pesantren di sini liburnya hari Jum’at. Bagi teman-teman yang suka usil, mereka sering gunakan kesempatan ini. Apalagi, di Thawalib, siswanya laki-laki semua. Pulang meraton, semua siswa disibukkan dengan rutinitas mencuci semua yang kotor. Biasanya, saat seperti ini air tidak mencukupi lagi. Maka, sebagian santri pergi ke kolam renang Lubuk Mata Kucing yang jaraknya hanya kurang dari 1 km dari sini. Karena memang hari Jum’at itu dibolehkan. Sebab, biasanya Jum’at itu jarang perempuan yang mandi di sana.

Akhirnya, hari demi hari berganti, minggu demi minggu berlalu, dan bulanpun berganti, bahkan beberapa tahunpun telah kulalui, sampai akhirnya aku telah lulus tingkat Tsanawiyah selama tiga tahun.
Sebetulnya tingkat tsanawiyah di sini mesti ditempuh selama empat tahun. Namun, ketika kelas I dulu, aku termasuk yang bisa meraih nilai yang cukup tinggi. Sehingga, dari enam lokal kelas I waktu itu, ada delapan orang di antara kami yang boleh langsung naik lompat ke kelas III (tanpa duduk dulu di kelas II), dan aku termasuk salah seorang dari mereka. (Parabek, 21 Oktober 2008 – Written by Ujang).
(Bersambung……………………..)

2 komentar:

perjalanan yang sangat menyenangkan ...
jarang sekali yang bisa memperoleh pengalaman seperti ini kan ustadz...

terkadang sebagian kita mesti menempuh jalan yang berliku-liku...
dan harus di jalani sampai semua nya bisa kita raih.

Subhanallah,,,
Ingin rasanya kembalike pesantren. Rindu suara pintu kamar di gedor2 saat fajar telah menyinsing.

kangen Goro bersama ketika libur...
:(

Posting Komentar